Apa-apa mau dikerjakannya sendiri kendati ia belum becus benar. Tapi  jangan dilarang atau dimarahi karena kelak ia tak bisa mandiri. 
 Para ibu pasti mengalami yang satu ini. Si kecil berontak kala hendak  dipakaikan baju sehabis mandi atau saat disuapi makan. Yang ia inginkan,  dibiarkan memakai baju sendiri, makan sendiri. Bahkan, kala ibu hendak  membuatkannya susu atau mengambilkan makanan, ia pun ribut dengan segala  tingkah "pemberontakan"nya agar diizinkan membuat/mengambil sendiri.  "Aku aja yang bikin susu!" begitu jeritnya. 
 Ya, begitulah anak usia batita. Apa-apa maunya dilakukannya sendiri.  Mulai dari berpakaian, makan-minum, menuang air, mandi, sisiran, dan  sebagainya. Bila dibantu, ia malah menolak. Padahal, keterampilannya  masih terbatas. Dan karena keterbatasan itu pula, setiap kali tak  berhasil, ia langsung marah-marah, menjerit-jerit, menangis. Kalau sudah  begitu, baru, deh, ia mau dibantu.  
BERAWAL DARI MINAT  
 Pada usia batita, terang Dra. Tjut Rifameutia U. Ali Nafis, MA.,  anak ingin menunjukkan kemampuannya bahwa ia bisa mengontrol dunianya.  Ditambah lagi, pada usia ini anak sedang dalam tahap eksplorasi,  mencoba-coba untuk melakukan sesuatu. "Karena itulah mereka ingin  melakukan segala sesuatunya sendiri," ujar staf Pembantu Dekan III  Fakultas Psikologi UI ini. 
 Keinginan tersebut, terang psikolog yang akrab dipanggil Tia ini,  bermula dari faktor minat. "Mungkin anak melihat dan mengamati teman  seusianya bisa melakukan sesuatu sendiri, lalu ia ingin mencoba untuk  melakukannya juga." Dengan kata lain, ia punya frame bahwa ia  bisa melakukan hal yang sama.  
 Bisa juga terjadi, ia melihat orang tuanya melakukan sesuatu, lalu  menirunya. "Jangan lupa, pada dasarnya anak belajar melalui imitasi atau  peniruan," ujar Tia. Misalnya, makan pakai sendok. Anak mengamati orang  di sekitarnya dan itu disimpan dalam ingatan, lalu dicobanya. 
 Nah, dengan anak melakukan segala sesuatu sendiri, menunjukkan bahwa ia  memiliki inisiatif. "Ini penting untuk memupuk kemandiriannya kelak."  Selain itu, ada rasa percaya diri bahwa ia mampu melakukan sesuatu.  "Rasa percaya diri inilah yang membuat ia nantinya punya kompetensi." 
 JADI TERGANTUNG  
 Sayangnya, tak semua orang tua memahami tahapan perkembangan ini. Yang  sering terjadi, orang tua maunya membantu melulu. Orang tua juga kerap  melarang dan tak jarang melecehkan anak, "Ah, kamu mana bisa? Kamu, kan,  masih kecil. Nanti jadinya malah jelek." 
 Padahal, terang Tia, bila anak dibolehkan melakukan segala sesuatunya  sendiri, maka ia akan berkembang menjadi anak yang mandiri. "Diharapkan  kelak ia bisa memutuskan segala sesuatunya sendiri, tak tergantung pada  orang lain." Dengan kemandiriannya itu, ia memiliki rasa kompeten atau  percaya diri bahwa ia mampu melakukan sesuatu. "Ia pun tak akan canggung  berhadapan dengan masyarakat. Penyesuaian dirinya juga baik." 
 Hal yang sebaliknya justru akan terjadi bila anak tak pernah diberi  kesempatan, "Anak jadi tergantung, tak percaya pada diri sendiri atau  merasa tak kompeten untuk melakukan sesuatu." Akibatnya, ia akan selalu  bertanya lebih dulu sebelum melakukan sesuatu, "Boleh ini nggak, Ma?  Boleh itu nggak, Pa?" Padahal, dalam dunia ini ada hal-hal yang harus  diputuskan sendiri, dilakukan sendiri. Kalau sudah begitu, jelas akan  merugikan si anak. 
 Begitu juga bila orang tua sampai memarahi dan marahnya pun berlebihan.  "Itu justru dapat menurunkan motivasi anak untuk melakukan hal-hal  sejenis. Anak pun bisa trauma dan ketakutan terus." Saking takutnya  untuk melakukan sesuatu karena takut salah, akhirnya belum apa-apa sudah  takut duluan. "Anak jadi tak berbuat apa-apa karena ia takut gagal.  Padahal, gagal itu adalah hal biasa." 
 Orang tua, ujar Tia, harus menyadari bahwa anak masih dalam  perkembangan. Jadi, kalau ia belum bisa atau belum benar melakukan  sesuatu, ya, dicoba lagi. "Mungkin sekarang belum bisa, tapi esok akan  bisa. Jangan malah dibantu terus atau dimarahi." Namun begitu,  tambahnya, "Jangan juga anak dibiasakan untuk melakukan segalanya  sendiri dalam arti apa yang dimauinya harus dituruti. Karena kelak ia  bisa jadi keras kepala. Apa-apa cuma dirinya saja yang benar." 
 PUJIAN DAN CONTOH  
 Jadi, tandas Tia, berilah kesempatan pada si kecil untuk mencoba  melakukan sendiri. "Yang penting orang tua harus memperhatikan apa yang  dilakukan oleh anak. Sejauh apa yang dilakukannya itu positif dan tak  membahayakan, itulah kuncinya." Perhatikan pula porsinya. Maksudnya,  pekerjaan mana yang cocok untuk anak seusianya. Misalnya, ibu menyapu  dan anak melap meja yang tak terlalu banyak debunya. 
 Tentunya si kecil juga harus diberikan pujian, sehingga ia menjadi  senang dan makin termotivasi untuk melakukan tingkah laku yang sama.  Misalnya, ia tengah menyapu. Katakan, "Aduh, bagus sekali Kakak mau  menyapu. Bunda bangga, deh." Namun hendaknya jangan berhenti hanya  sampai di situ. Sebab, si kecil, kan, menyapunya masih belum benar.  Katakan pula, "Tapi menyapunya bukan seperti itu. Nih, lihat Bunda  menyapu." Jadi, orang tua juga harus memberi contoh dalam membantu anak  mengembangkan keterampilannya melakukan sesuatu. "Sebab, anak belajar  dari contoh." 
 Nah, dengan si kecil diberi kesempatan melakukan sendiri, orang tua pun  dapat mengetahui, sampai sejauh mana kemampuan anak. Misalnya, ia sudah  bisa pakai baju sendiri namun belum bisa mengancingkannya dengan benar.  Atau, ia sudah bisa pakai celana sendiri, cuma masih sering terbalik  karena ia belum tahu mana yang bagian depan dan mana bagian belakang.  Atau, ia sudah bisa minum sendiri tanpa airnya tumpah bila gelasnya  hanya diisi separuh, dan sebagainya.  
 Namun jangan lupa untuk selalu memuji dan membimbingnya, "Oh, bagus,  Adik sudah pintar pakai bajunya. Tapi coba lihat apakah sudah benar  mengancingkannya. Yuk, kita betulkan lagi." 
 Yang harus diingat, ujar Tia, jangan sampai orang tua malah frustrasi  lantaran si kecil tak jua bisa menyelesaikan sesuatu pekerjaan.  Misalnya, ia sudah diajarkan mengancingkan baju, tapi, kok, enggak  bisa-bisa juga. "Kalau orang tua frustrasi, anak akan tegang."  Sebaiknya, anjur Tia, orang tua mengatakan, "Oh iya, memang susah, ya,  Kak. Coba kita cari cara lain." Jadi, anak diberikan berbagai alternatif  dan contoh melakukannya. Kalau ia sudah bisa, sekalipun si kancing  belum sempurna masuk di lubangnya, jangan lupa beri pujian, "Tuh, kan,  bisa. Kakak memang pintar." 
 Apapun juga yang dicapai anak, Tia minta agar orang tua jangan menaruh  patokan yang sempurna untuk anak. "Lakukan sesuai standar anak  seusianya. Jangan pakai kerangka untuk penilaian orang dewasa yang harus  sesempurna mungkin." Satu tahap saja si kecil bisa melakukan sesuatu,  itu sudah berarti kemajuan. Jadi, berilah ia waktu dan kesempatan untuk  terus berlatih. 
 AJAK DIALOG  
 Sering terjadi si kecil yang malah frustrasi dengan pekerjaan yang  dilakukannya. Misalnya, ia tengah pakai celana, namun kedua kakinya  masuk ke dalam satu lubang. Akibatnya, si celana tak mau "menurut" kala  ditarik ke atas. Menjeritlah si kecil dan menangis. Nah, pada saat  itulah orang tua baru bisa masuk, "Sini Mama bantu. Sekarang kita  kerjakan bersama." Si kecil pun tak menolak lagi.  
 Contoh lain, si kecil tengah bermain balok. Ia ingin menyusun  balok-balok tersebut sampai tinggi. Tapi baru 10 balok disusun, sudah  rubuh. Setelah 2-3 kali diulang dan masih rubuh juga, ia pun kesal.  Dilemparlah balok-balok itu. Ia frustrasi karena harapannya ingin  mengerjakan sampai selesai tapi tak bisa. Orang tua sebaiknya mendekati  anak dan katakan, "Lo, kok, baloknya dilempar? Kalau dilempar malah jadi  enggak selesai. Ayo, kita lihat mana yang enggak benar." Atau, bisa  juga dengan menawarkan bantuan, "Ada yang bisa Ayah bantu?" Bila ia  menolak, jangan dipaksa. Diamkan sebentar tapi sambil tetap  diperhatikan, atau tanyakan, "Apa yang Adik rasakan?" 
 Dalam menghadapi anak yang frustrasi, anjur Tia, orang tua sebaiknya  melakukan dialog atau komunikasi dengan bahasa yang dimengerti anak.  "Biasanya anak-anak frustrasi karena ingin melakukan semuanya atau  lantaran tergesa-gesa. Karena itu ia perlu diajak bicara, diberi waktu,  dibimbing dan dipuji." Tapi kalau orang tua malah tak peduli, maka kelak  anak tak bisa mengekspresikan emosinya dengan baik. "Ia akan kesal,  marah sendiri. Anak tak belajar bagaimana mengatasi masalahnya.  Besok-besok kalau kesal ia akan main lempar."  
 Jadi, tandas Tia, orang tua sebaiknya melihat saja dulu apa yang ingin  dilakukan anak. Syukur kalau ia sudah bisa melakukannya. Kalaupun belum,  tak apa-apa. Jadilah model baginya. 
 "ADE SAJA, PA....!" 
 Tak jarang si kecil juga ingin "membantu". Ketika ia melihat sang ayah  tengah bersiap-siap mencuci mobil di hari Minggu, segera saja diambilnya  sebuah ember. Atau, saat sang ayah membawa ember tersebut, ia langsung  menghampiri sambil meraih si ember, "Ade saja, Pa...!" 
 Saran Tia, tanggapilah bantuan itu dengan positif. "Ini merupakan  bibit untuk tolong-menolong," ujarnya. Bahkan, orang tua juga boleh  meminta bantuan si kecil untuk melakukan hal-hal sederhana, namun tetap  pada porsinya dan diberikan bimbingan. Misalnya, saat ibu melap meja,  "Sini Ade bantu Ibu mengelap meja yang bagian ini. Kita bagi-bagi kerja,  ya. Nanti kalau ada apa-apa, kita bersihkan lagi sama-sama." Atau, kala  ia hendak membantu mengangkat yang berat-berat, katakan, "Ade, kalau  yang ini biar Ibu saja, karena perlu tangan yang kuat. Nanti kalau Ade  sudah besar dan tangan Ade sudah kuat, baru Ade yang angkat." 
 Jadi, ujar Tia, "Selain anak melakukan untuk dirinya sendiri, ia juga  berbuat untuk orang lain. Ia tahu bahwa bekerja sama dan membantu orang  lain itu bernilai positif." Dengan demikian, anak akan makin termotivasi  untuk membantu lagi dan kompetensinya pun meningkat. 
 Ayah Dan Ibu, Jangan Lengah ! 
 Hati-hati, lo, apa pun akan dilakukan si kecil. Termasuk hal-hal yang  berbahaya. Maklumlah, ia belum tahu mana yang berbahaya dan tidak. Itu  sebabnya Tia meminta orang tua agar memperhatikan apa yang  dilakukan anak. "Jangan sampai orang tua lengah. Karena bahayanya bukan  hanya ke fisik, tapi juga bisa ke psikis." 
 Misalnya, si kecil mencolokkan kabel listrik. "Secara fisik, itu, kan,  berbahaya. Nah, begitu anak merasakan bahayanya, ia menjadi takut. Kalau  rasa takut yang timbul ini sangat luar biasa, akibatnya ia kelak tak  mau lagi melakukan hal itu. Bahkan mungkin ada yang perlu penanganannya  dengan terapi." 
 Atau anak membawa barang pecah-belah lalu barang tersebut pecah. Orang  tua lantas memarahinya secara berlebihan. Anak menjadi takut sehingga ia  tak berani lagi melakukannya. Bahkan, ia pun takut untuk memegang  barang-barang lain milik ibunya. "Karena anak telah mendapatkan reinforcement  negatif atau punishment. Jadi, daripada ia melakukan itu lagi  dan dimarahi, maka ia memutuskan lebih baik tak melakukannya sama  sekali." 
 Tapi bila orang tua tahu kala si kecil ingin melakukan sesuatu yang  berbahaya, maka hal-hal tersebut dapat dicegah. Tentu saja bukan dengan  cara dimarahi, tapi diberi tahu secara baik-baik dengan bahasa yang  dimengerti anak. Misalnya, saat anak ingin memotong, katakan padanya,  "Kakak jangan pakai pisau ini, nanti bisa terluka. Yuk, kita pakai pisau  mainan Kakak." 
 Dedeh Kurniasih/nakita 


 

 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
0 komentar: