http://bit.ly/kerjadirumahaja
  • Jika Anak Ingin Mengerjakan Sendiri


    Apa-apa mau dikerjakannya sendiri kendati ia belum becus benar. Tapi jangan dilarang atau dimarahi karena kelak ia tak bisa mandiri. 

    Para ibu pasti mengalami yang satu ini. Si kecil berontak kala hendak dipakaikan baju sehabis mandi atau saat disuapi makan. Yang ia inginkan, dibiarkan memakai baju sendiri, makan sendiri. Bahkan, kala ibu hendak membuatkannya susu atau mengambilkan makanan, ia pun ribut dengan segala tingkah "pemberontakan"nya agar diizinkan membuat/mengambil sendiri. "Aku aja yang bikin susu!" begitu jeritnya. 

    Ya, begitulah anak usia batita. Apa-apa maunya dilakukannya sendiri. Mulai dari berpakaian, makan-minum, menuang air, mandi, sisiran, dan sebagainya. Bila dibantu, ia malah menolak. Padahal, keterampilannya masih terbatas. Dan karena keterbatasan itu pula, setiap kali tak berhasil, ia langsung marah-marah, menjerit-jerit, menangis. Kalau sudah begitu, baru, deh, ia mau dibantu.

    BERAWAL DARI MINAT 
    Pada usia batita, terang Dra. Tjut Rifameutia U. Ali Nafis, MA., anak ingin menunjukkan kemampuannya bahwa ia bisa mengontrol dunianya. Ditambah lagi, pada usia ini anak sedang dalam tahap eksplorasi, mencoba-coba untuk melakukan sesuatu. "Karena itulah mereka ingin melakukan segala sesuatunya sendiri," ujar staf Pembantu Dekan III Fakultas Psikologi UI ini. 

    Keinginan tersebut, terang psikolog yang akrab dipanggil Tia ini, bermula dari faktor minat. "Mungkin anak melihat dan mengamati teman seusianya bisa melakukan sesuatu sendiri, lalu ia ingin mencoba untuk melakukannya juga." Dengan kata lain, ia punya frame bahwa ia bisa melakukan hal yang sama.
    Bisa juga terjadi, ia melihat orang tuanya melakukan sesuatu, lalu menirunya. "Jangan lupa, pada dasarnya anak belajar melalui imitasi atau peniruan," ujar Tia. Misalnya, makan pakai sendok. Anak mengamati orang di sekitarnya dan itu disimpan dalam ingatan, lalu dicobanya. 

    Nah, dengan anak melakukan segala sesuatu sendiri, menunjukkan bahwa ia memiliki inisiatif. "Ini penting untuk memupuk kemandiriannya kelak." Selain itu, ada rasa percaya diri bahwa ia mampu melakukan sesuatu. "Rasa percaya diri inilah yang membuat ia nantinya punya kompetensi." 

    JADI TERGANTUNG
    Sayangnya, tak semua orang tua memahami tahapan perkembangan ini. Yang sering terjadi, orang tua maunya membantu melulu. Orang tua juga kerap melarang dan tak jarang melecehkan anak, "Ah, kamu mana bisa? Kamu, kan, masih kecil. Nanti jadinya malah jelek." 

    Padahal, terang Tia, bila anak dibolehkan melakukan segala sesuatunya sendiri, maka ia akan berkembang menjadi anak yang mandiri. "Diharapkan kelak ia bisa memutuskan segala sesuatunya sendiri, tak tergantung pada orang lain." Dengan kemandiriannya itu, ia memiliki rasa kompeten atau percaya diri bahwa ia mampu melakukan sesuatu. "Ia pun tak akan canggung berhadapan dengan masyarakat. Penyesuaian dirinya juga baik." 

    Hal yang sebaliknya justru akan terjadi bila anak tak pernah diberi kesempatan, "Anak jadi tergantung, tak percaya pada diri sendiri atau merasa tak kompeten untuk melakukan sesuatu." Akibatnya, ia akan selalu bertanya lebih dulu sebelum melakukan sesuatu, "Boleh ini nggak, Ma? Boleh itu nggak, Pa?" Padahal, dalam dunia ini ada hal-hal yang harus diputuskan sendiri, dilakukan sendiri. Kalau sudah begitu, jelas akan merugikan si anak. 

    Begitu juga bila orang tua sampai memarahi dan marahnya pun berlebihan. "Itu justru dapat menurunkan motivasi anak untuk melakukan hal-hal sejenis. Anak pun bisa trauma dan ketakutan terus." Saking takutnya untuk melakukan sesuatu karena takut salah, akhirnya belum apa-apa sudah takut duluan. "Anak jadi tak berbuat apa-apa karena ia takut gagal. Padahal, gagal itu adalah hal biasa." 

    Orang tua, ujar Tia, harus menyadari bahwa anak masih dalam perkembangan. Jadi, kalau ia belum bisa atau belum benar melakukan sesuatu, ya, dicoba lagi. "Mungkin sekarang belum bisa, tapi esok akan bisa. Jangan malah dibantu terus atau dimarahi." Namun begitu, tambahnya, "Jangan juga anak dibiasakan untuk melakukan segalanya sendiri dalam arti apa yang dimauinya harus dituruti. Karena kelak ia bisa jadi keras kepala. Apa-apa cuma dirinya saja yang benar." 

    PUJIAN DAN CONTOH
    Jadi, tandas Tia, berilah kesempatan pada si kecil untuk mencoba melakukan sendiri. "Yang penting orang tua harus memperhatikan apa yang dilakukan oleh anak. Sejauh apa yang dilakukannya itu positif dan tak membahayakan, itulah kuncinya." Perhatikan pula porsinya. Maksudnya, pekerjaan mana yang cocok untuk anak seusianya. Misalnya, ibu menyapu dan anak melap meja yang tak terlalu banyak debunya. 

    Tentunya si kecil juga harus diberikan pujian, sehingga ia menjadi senang dan makin termotivasi untuk melakukan tingkah laku yang sama. Misalnya, ia tengah menyapu. Katakan, "Aduh, bagus sekali Kakak mau menyapu. Bunda bangga, deh." Namun hendaknya jangan berhenti hanya sampai di situ. Sebab, si kecil, kan, menyapunya masih belum benar. Katakan pula, "Tapi menyapunya bukan seperti itu. Nih, lihat Bunda menyapu." Jadi, orang tua juga harus memberi contoh dalam membantu anak mengembangkan keterampilannya melakukan sesuatu. "Sebab, anak belajar dari contoh." 

    Nah, dengan si kecil diberi kesempatan melakukan sendiri, orang tua pun dapat mengetahui, sampai sejauh mana kemampuan anak. Misalnya, ia sudah bisa pakai baju sendiri namun belum bisa mengancingkannya dengan benar. Atau, ia sudah bisa pakai celana sendiri, cuma masih sering terbalik karena ia belum tahu mana yang bagian depan dan mana bagian belakang. Atau, ia sudah bisa minum sendiri tanpa airnya tumpah bila gelasnya hanya diisi separuh, dan sebagainya.
    Namun jangan lupa untuk selalu memuji dan membimbingnya, "Oh, bagus, Adik sudah pintar pakai bajunya. Tapi coba lihat apakah sudah benar mengancingkannya. Yuk, kita betulkan lagi." 

    Yang harus diingat, ujar Tia, jangan sampai orang tua malah frustrasi lantaran si kecil tak jua bisa menyelesaikan sesuatu pekerjaan. Misalnya, ia sudah diajarkan mengancingkan baju, tapi, kok, enggak bisa-bisa juga. "Kalau orang tua frustrasi, anak akan tegang." Sebaiknya, anjur Tia, orang tua mengatakan, "Oh iya, memang susah, ya, Kak. Coba kita cari cara lain." Jadi, anak diberikan berbagai alternatif dan contoh melakukannya. Kalau ia sudah bisa, sekalipun si kancing belum sempurna masuk di lubangnya, jangan lupa beri pujian, "Tuh, kan, bisa. Kakak memang pintar." 

    Apapun juga yang dicapai anak, Tia minta agar orang tua jangan menaruh patokan yang sempurna untuk anak. "Lakukan sesuai standar anak seusianya. Jangan pakai kerangka untuk penilaian orang dewasa yang harus sesempurna mungkin." Satu tahap saja si kecil bisa melakukan sesuatu, itu sudah berarti kemajuan. Jadi, berilah ia waktu dan kesempatan untuk terus berlatih. 

    AJAK DIALOG
    Sering terjadi si kecil yang malah frustrasi dengan pekerjaan yang dilakukannya. Misalnya, ia tengah pakai celana, namun kedua kakinya masuk ke dalam satu lubang. Akibatnya, si celana tak mau "menurut" kala ditarik ke atas. Menjeritlah si kecil dan menangis. Nah, pada saat itulah orang tua baru bisa masuk, "Sini Mama bantu. Sekarang kita kerjakan bersama." Si kecil pun tak menolak lagi.
    Contoh lain, si kecil tengah bermain balok. Ia ingin menyusun balok-balok tersebut sampai tinggi. Tapi baru 10 balok disusun, sudah rubuh. Setelah 2-3 kali diulang dan masih rubuh juga, ia pun kesal. Dilemparlah balok-balok itu. Ia frustrasi karena harapannya ingin mengerjakan sampai selesai tapi tak bisa. Orang tua sebaiknya mendekati anak dan katakan, "Lo, kok, baloknya dilempar? Kalau dilempar malah jadi enggak selesai. Ayo, kita lihat mana yang enggak benar." Atau, bisa juga dengan menawarkan bantuan, "Ada yang bisa Ayah bantu?" Bila ia menolak, jangan dipaksa. Diamkan sebentar tapi sambil tetap diperhatikan, atau tanyakan, "Apa yang Adik rasakan?" 

    Dalam menghadapi anak yang frustrasi, anjur Tia, orang tua sebaiknya melakukan dialog atau komunikasi dengan bahasa yang dimengerti anak. "Biasanya anak-anak frustrasi karena ingin melakukan semuanya atau lantaran tergesa-gesa. Karena itu ia perlu diajak bicara, diberi waktu, dibimbing dan dipuji." Tapi kalau orang tua malah tak peduli, maka kelak anak tak bisa mengekspresikan emosinya dengan baik. "Ia akan kesal, marah sendiri. Anak tak belajar bagaimana mengatasi masalahnya. Besok-besok kalau kesal ia akan main lempar."
    Jadi, tandas Tia, orang tua sebaiknya melihat saja dulu apa yang ingin dilakukan anak. Syukur kalau ia sudah bisa melakukannya. Kalaupun belum, tak apa-apa. Jadilah model baginya. 

    "ADE SAJA, PA....!"
    Tak jarang si kecil juga ingin "membantu". Ketika ia melihat sang ayah tengah bersiap-siap mencuci mobil di hari Minggu, segera saja diambilnya sebuah ember. Atau, saat sang ayah membawa ember tersebut, ia langsung menghampiri sambil meraih si ember, "Ade saja, Pa...!" 

    Saran Tia, tanggapilah bantuan itu dengan positif. "Ini merupakan bibit untuk tolong-menolong," ujarnya. Bahkan, orang tua juga boleh meminta bantuan si kecil untuk melakukan hal-hal sederhana, namun tetap pada porsinya dan diberikan bimbingan. Misalnya, saat ibu melap meja, "Sini Ade bantu Ibu mengelap meja yang bagian ini. Kita bagi-bagi kerja, ya. Nanti kalau ada apa-apa, kita bersihkan lagi sama-sama." Atau, kala ia hendak membantu mengangkat yang berat-berat, katakan, "Ade, kalau yang ini biar Ibu saja, karena perlu tangan yang kuat. Nanti kalau Ade sudah besar dan tangan Ade sudah kuat, baru Ade yang angkat." 

    Jadi, ujar Tia, "Selain anak melakukan untuk dirinya sendiri, ia juga berbuat untuk orang lain. Ia tahu bahwa bekerja sama dan membantu orang lain itu bernilai positif." Dengan demikian, anak akan makin termotivasi untuk membantu lagi dan kompetensinya pun meningkat. 

    Ayah Dan Ibu, Jangan Lengah !
    Hati-hati, lo, apa pun akan dilakukan si kecil. Termasuk hal-hal yang berbahaya. Maklumlah, ia belum tahu mana yang berbahaya dan tidak. Itu sebabnya Tia meminta orang tua agar memperhatikan apa yang dilakukan anak. "Jangan sampai orang tua lengah. Karena bahayanya bukan hanya ke fisik, tapi juga bisa ke psikis." 

    Misalnya, si kecil mencolokkan kabel listrik. "Secara fisik, itu, kan, berbahaya. Nah, begitu anak merasakan bahayanya, ia menjadi takut. Kalau rasa takut yang timbul ini sangat luar biasa, akibatnya ia kelak tak mau lagi melakukan hal itu. Bahkan mungkin ada yang perlu penanganannya dengan terapi." 

    Atau anak membawa barang pecah-belah lalu barang tersebut pecah. Orang tua lantas memarahinya secara berlebihan. Anak menjadi takut sehingga ia tak berani lagi melakukannya. Bahkan, ia pun takut untuk memegang barang-barang lain milik ibunya. "Karena anak telah mendapatkan reinforcement negatif atau punishment. Jadi, daripada ia melakukan itu lagi dan dimarahi, maka ia memutuskan lebih baik tak melakukannya sama sekali." 

    Tapi bila orang tua tahu kala si kecil ingin melakukan sesuatu yang berbahaya, maka hal-hal tersebut dapat dicegah. Tentu saja bukan dengan cara dimarahi, tapi diberi tahu secara baik-baik dengan bahasa yang dimengerti anak. Misalnya, saat anak ingin memotong, katakan padanya, "Kakak jangan pakai pisau ini, nanti bisa terluka. Yuk, kita pakai pisau mainan Kakak." 

    Dedeh Kurniasih/nakita

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.

http://bit.ly/dbcn-kantorkeduaku